Alas Wonosedo Jurug Karanganyar
Siapa itu Sutopo, mbah Sutopo telah melahirkan orang
hebat, diantaranya adalah Simbah Dobyang Suponyono. Dobyang Suponyono alias
Donggo Leksono adalah seorang yang berdarah biru / orang keratonan berasal dari
Cerbon Jawa Barat yang kawin dengan seorang putri dari Banten bernama Sani
kemudian melahirkan; Sajoyo, Sadipo, dan Nyi Jimben. Teka-teki kehebatan Dobyang Suponyono selain
dia adalah orang keraton berdarah biru, ia juga mempunyai Jimat berwujud “Dingklik dan kendang”. Dingklik ini
berasal dari kayu Opo-opo turun dari alas Donoloyo, wujud dari dingklik ini
berkaki tiga dan tidak boleh sembarang orang bisa mendudukinya apalagi seorang
perempuan, kenapa perempuan? karena ditakutkan kalau perempuan tadi lagi haid
(menstruasi/datang bulan), maka dingklik tersebut bisa murka, saat murka ia
bisa jengogok seperti kuda yang
sedang marah. Dingklik ini mempunyai khodam atau piyandel 5 (lima ini adalah
simbol kursi, yaitu 4 kaki dan 1 papan, blabak, dlamaan, linggehan), dan lima ini mempunyai penghuni atau
penjaganya sendiri-sendiri yaitu : Nyi Guling, (sandang pangan), Nyi Denok,
Kyai Terkim, (nakal) Joko Langgeng dan Joko Pekik (pencegah kenakalan,
kemurkaan). Saat ini Dingklik berada di desa Galeh Denanyar Sragen, kemudian
wetonnya pada hari Selasa Kliwon bulan Suro dibanca’i dengan mauludan rasulan gedang emas. Piyandel tersebut dikemas
dalam cupu berwujud botol yang jumlahnya juga lima. Sedangkan Kendang kini
posisi berada di kediaman Mbah Karno Karang Denanyar Sragen, dan mbah Karno ini
adalah juru kunci Ari-ari Nyi Jimben di Sekaran ± 50 m sebelah selatan Sendang
Karang Denanyar.
(Ari-ari Simbah Jimben)
Sajoyo merupakan anak barep atau pertama dari
Dobyang Suponyono, ia juga merupakan sosok yang hebat dan luar biasa ilmu yang
dimiliki terutama kanuragannya. Semedi / topo
brotonya dipunden Jurug dan alas Wonosedo Jurug Karanganyar Geyer Grobogan,
istirahat dan sesucinya di Sendang Wonosedo Jurug juga. Cerita versi lain
Sajoyo tidak menikah dan ia langsung Murco, sisi cerita yang lain di alas
Wonosedo inilah istrinya melahirkan anak bernama Guntolo. Guntolo ini dewasanya
menjadi juru kunci Gunung Merapi, Mbah Marijan (Juru kuci Gunung Merapi) dan
seseorang yang lelakon di Gunung Bayat Klaten merupakan darah dari Guntolo.
Dikatakan alas Wonosedo karena tempat ini tempat lahirnya Guntolo putra Sajoyo.
Kemudian Sajoyo dihari tua pesan kepada penderek dan krabat, jika pingin ziarah atau ketemu maka tempatnya disini dan setelah itu Sajoyo langsung Murco. Disini itu adalah sekarang tempat pesareaan masyarakat Karang Denanyar Sragen. Bukti Sajoyo murco disitu ia meninggalkan pengagemnya (baju), kini tempat itu ditandai dengan 2 Batu Nisan yang salah satunya batu itu gruwah dan dalam sewindu (8 tahun) batu ini berputar. Untuk mendapatkan berkah dari mbah Sajoyo yaitu dengan puasa mutih selama 3 hari Senin s/d Rabu dan Kamis Sorenya nyekar dipesarean atau petilasan Sajoyo Murco dengan membawa garam, cabe, trasi (mbang gantal), 3 Dupa Cina ditancapkan ngidul ngetan (tenggara), ngadep Ari-ari Nyi Jimben Sekaran Karang Denanyar (Jika orang Karanganyar). Ijabnya dengan pesarean Sojoyo versi Jawa : Mbah Sojoyo, kulo suwan wonten perseban panjenengan niki kulo nyuwun teguh roso bumi langit murah sandang pangan.
(Alas Wonosedo Jurug)
Kemudian Sajoyo dihari tua pesan kepada penderek dan krabat, jika pingin ziarah atau ketemu maka tempatnya disini dan setelah itu Sajoyo langsung Murco. Disini itu adalah sekarang tempat pesareaan masyarakat Karang Denanyar Sragen. Bukti Sajoyo murco disitu ia meninggalkan pengagemnya (baju), kini tempat itu ditandai dengan 2 Batu Nisan yang salah satunya batu itu gruwah dan dalam sewindu (8 tahun) batu ini berputar. Untuk mendapatkan berkah dari mbah Sajoyo yaitu dengan puasa mutih selama 3 hari Senin s/d Rabu dan Kamis Sorenya nyekar dipesarean atau petilasan Sajoyo Murco dengan membawa garam, cabe, trasi (mbang gantal), 3 Dupa Cina ditancapkan ngidul ngetan (tenggara), ngadep Ari-ari Nyi Jimben Sekaran Karang Denanyar (Jika orang Karanganyar). Ijabnya dengan pesarean Sojoyo versi Jawa : Mbah Sojoyo, kulo suwan wonten perseban panjenengan niki kulo nyuwun teguh roso bumi langit murah sandang pangan.
Sajoyo punya saudara/sahabat bernama Tarko Tawi,
Tarko ini bisa berubah menjadi Ular Raksasa (ulo gede), ketika Tarko mau kerumah kerabatnya, maka hari itu akan
hujan lebat dan banjir, sedan Tarko dadi ulo ikut ngintir banjir, ini akan
dilakukan setahun sekali setiap musim penghujan (Rendeng). Tarko Ini
berasal dari desa Dungjangan Kecamatan Gesi Sragen. Pemelihara atau penyandang (nglengani)
Tarko ini adalah Mbah Piyo Grinting Asemrudung, setiap akan hujan lebat dan
banjir maka mbah Piyo ini akan wanti-wanti pada anak dan kerabat “ape udan gede
ojo dolanan ning kali”. Wawancara Mbah Senen Gong / Senen RT di Dusun Karang
Denanyar Sragen pada hari Sabtu Kliwon, 17 September 2016 M / 15 besar 1437 H
jam 09:15 s/d 11:10 WIB.
Sajoyo selain menurunkan Guntolo juga berputra
Truno Joyo (pesarean atau petilasan di punden Ngancar Karanganyar), Truno Joyo
berputra Truno Dipo (Pesarean di Makam Umum Jurug, Karanganyar) dan Truno Dipo
berputra Truno Dongso (pesarean di Makam Umum Karanganyar). Truno Dongso
berputra Hasan Rusdi (pesarean di Makam Umum Karanganyar). Sedangkan Hasan
Rusdi berputra 7 (Tujuh) : yakni Mbah Suwardi, Sarmadi, Sunardi, Muhammad (Dalon), Suaib, Rasmun dan Murodi` (Wawancara dengan Mbah Rasmun bin Hasan Rusdi
pada hari Rabu malem Kamis Pon 14 September 2016 M / 12 besar 1437 H atau Malam Haul Simbah Kyai Ahmad Sudarjan ke
39 jam 22: 00 s/d 23:16 WIB.
Sadipo murco dan Nyi Jimben diboyong ke kraton
Yogyakarta, sedangkan Ari-ari Nyi Jimben dikubur di Sekaran, Karang Denanyar
Sragen, sampai sekarang Ari-ari disekarang dipelihara oleh mbah Supar atau Wagimin.
Setiap batu yang ada diatas Ari-ari berubah arah, maka masyarakat Karang
Denanyar akan mendapatkan musibah atau wabah penyakit, dan ketika batu tersebut
dikembalikan semula, maka wabah tersebut akan hilang dengan sendirinya. Menurut
Simbah Supar Jurug Karanganyar yang kami temui, Nyi Jimben nama aslinya adalah
harni, tetapi juga ada yang menyebutnya Raden Murni. Menurutnya ia juga Murco
pada hari jum’at Pon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar