Kebanyakan
desa di jawa, mulanya dihuni orang seketurunan, mereka memiliki nenek moyang
yang sama, yaitu para cikal bakal pendiri atau pembabad permukiman/desa
tersebut. Jika desa sudah penuh, masalah-masalah akan bermunculan, termasuk
adalah ekonomi. Beberapa keluarga keluar, mendirikan permukiman atau desa baru
dengan cara membuka hutan. Tindakan ini disebut tetruka. Di Tapanuli, pembukaan desa baru, sebagian karena kelompok
baru ingin mencapai hak dan kewajiban sebagai raja adat, atau tanah desa tak
memadai lagi untuk menghidupi penghuninya. Sedangkan di jawa disebabkan karena
untuk ekspansi keturunan oleh para penguasa zaman dahulu, atau juga sebagai
tempat persembunyian.
Munculnya sejarah
berdirinya Desa Karanganyar dimulai adanya pejuang kemerdekaan pada masa perang
gerilya melawan penjajah belanda. Tidak diketahui kapan kepastian datangnya
sang pembabad alas Karang Anyar tersebut. Berdasarkan cerita dari narasumber
yang ditemui penulis atas nama Bapak Djudi diperoleh informasi sebagai berikut[1]
:
Pada zaman perang kemerdekan
merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda (VOC) atau saat meletusnya perang
Pangeran Diponegoro (Geurilia Warfare: Perang Gerilya) pada tahun 1825-1830 (tepatnya
28 Maret 1830) atau masa dimana penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan
Jenderal Hendrik Merkus De Kock) datanglah seorang pelarian dari prajurit
Pangeran Diponegoro ke hutan (Alas: )
lereng Gunung Kendeng sebelah selatan. Seorang pelarian tersebut adalah Raden
Ronggo Leksono, Putra Nyai Kursiah alias Kustinah, keturunan langsung dari Nyai
Ageng Serang[2]
berayahkan Pangeran Ronggo Natapraja (Panembahan Ageng Serang) keturunan
langsung dari Sunan Kali jaga (Raden Rahmat). Raden Ronggo Leksono kemudian
bersembunyi dan membuka hutan belantara
disebuah tempat yang diberi nama “KARANG ANYAR”.
Nama Karang Anyar sendiri diambil dari dari dua kata berbahasa Jawa
yaitu : Karang bermakna tempat atau pekarangan dan Anyar sendiri bermakna baru,
berarti tempat atau lahan yang baru untuk permukiman, keamanan dan kedamaian.
Sementara untuk mengisi kekosongan warga karena memang baru anyaran atau tempat
tinggal yang baru dibuat atau dibabad, kemudian Raden Ronggo Leksono
memerintahkan warga Sragen Kecamatan Tangen tepatnya warga Ngrombo, Denanyar,
Sigit, towo sebagian untuk pindah/Hijrah atau bertempat tinggal di Karang Anyar.
[1] Bapak Djudi atau Djadi bin Sukiman bin Joyo Sentiko adalah seorang
pengajar di MTs Miftahul Huda Karanganyar sejak 17 juli 1993 memegang Mapel
Bahasa Jawa sampai sekarang, selain aktif sebagai pengajar beliau juga
mengabdikan diri pada Pemerintah desa sejak lurah Soekardjan. Disi lain ia juga
aktif dalam berbagai event keagamaan seperti: Sewelasan, Rolasan (Maulidan,
berjanjenan: Maulidirrasul SAW, red), Manaqiban, Pitulasan (Khotmil
Qur’an/tanggal 17 bulan jawa), Jum’at Pon-an, yasin dan Rawatib Tahlil/Tahlilan
dan lain sebagainya. Bapak Djudi adalah salah satu keturunan ke 2 dari Tokoh
Simbah Kyai Ahmad Sudarjan Penyebar pertama Islam di Desa Karanganyar dari garis ibu Mbah salamah
binti Ahmad Sudardjan.
[2] Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno
Edi (Lahir di Serang, Purwodadi Grobogan Jawa Tengah 1752-Wafat di Yogyakarta,
1828) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah anak Pangeran
Ronggo Natapraja (Panembahan Ageng Serang) yang menguasai wilayah terpencil
dari kerajaan Mataram Islam, tepatnya di Serang yang sekarang wilayah
perbatasan Grobogan-Sragen dan Boyolali. Kakaknya bernama Kyai Ageng Serang,
Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya dan atas
jasa-jasanya terhadap negara, Nyi Ageng Serang kemudian dikukuhkan sebagai
Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. : 084/TK/1974 pada tanggal 13
Desember 1974 di Istana Negara Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar