Nama Lengkap
|
: Ahmad Sudardjan
|
Wangsa
|
: Penjajahan Belanda
- PKI
|
Ayah
|
: Ngosuto
|
Ibu
|
:
|
Istri
|
: Siyami binti Merto
Ngulomo
|
Lahir
|
: Grobogan
|
Agama
|
: Islam
|
1.
Mondok
di Peganjing
Ahmad Sudardjan
atau Simbah Kyai Ahmad Sudardjan
adalah ulama pertama kali yang menyebarkan atau mensyiarkan Islam di Desa
Karanganyar, ia merupakan Putra dari Bapak Ngosuto dari desa Tunggak Kecamatan
Toroh Kabupaten Grobogan. Masa mudanya ia pernah belajar Ngaji atau Nyantri di
Desa Peganjing Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan selama 24 tahun, hari-harinya
ia lalui dengan tekun untuk beribadah kepada sang pencipta dan belajar Ngaji
pada guru-gurunya, hingga ia menjadi anak yang cerdas dan shaleh, berwibawa.
Maka pantaslah Ahmad Sudardjan ini sangat berwibawa, banyak karya yang ia
ciptakannya, bahkan kitab-kitab kuning yang ia geluti banyak ia salin dengan
tulisan tangannya sendiri, dan alat yang digunakan untuk menulis adalah sodo aren (Lidi Aren)[1].
Penulis juga pernah mendapatkan informasi bahwa salah satu kehebatannya selain
cerdas, alim, tekun beribadah bahkan kalau wirid dan zikir sajadah sampai
melekat pada tanah, pinter debat dalam bidang agama ia juga bisa menghentikan
KA (Kereta Api) subhanallah..
2.
Menikah
dan Syiar Islam di Desa Karanganyar
Ketika Ahmad
Sudardjan sudah menginjak dewasa dan
waktunya untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang diperolehnya. Maka ia boyong restu
dari pesantren untuk mengamalkan ilmu yang diperoleh dari para kyai atau
gurunya. Ia kembali ke kampung halamannya, dan ia lalui dengan tekun, khusu’
dan tawadu’ untuk beribadah, suatu ketika ia merasa tidak sempurna ilmunya jika
ia tidak menikah menjalankan sunnah Rasulullah. Akhirnya ia mendapatkan woro-woro (kabar berita) atau sandiwara
dari desa di tengah hutan yaitu Karanganyar. Demang atau Lurah Simbah Merto
Ngulomo mengadakan saembara : Sopo sing
isi nutupi tengu sak ungkal ambi godong asem, mongko yen iku wong wadon bakal
tak daku sedulur, lan yen wong lanang bakal tak apek mantu. Luar biasanya
dengan kebesaran Gusti Allah Ahmad Suardjanlah yang bisa memenangkan atau memecahkan
sayembara itu dari sekian lawan-lawanya. Bahkan dalam hal berdebat ia bisa mengalahkan
mbah Ismail, Ismail ini adalah salah satu warga Karanganyar yang juga pernah
nyantri.
Akhirnya Ahmad Sudardjan dinikahkan dengan Siyami
binti Merto Ngulomo, walaupun pada awalnya Siyami tidak tresno/seneng (Cinta) pada Ahmad Sudarjan, karena ia pria bersarung
dan berikat kepala (Kaum santri, Red). Seiring dengan berjalannya waktu,
keduanya terus mempertahankan rumah tangganya, dari awal memang Merto Ngulomo
bercita-cita punya mantu yang bisa Ngaji. Akhirnya rumah tangganya bahagia atau
bisa dikatakan sakinah, mawadah dan warohmah.
3. Syiar
Islam di Karanganyar
Ahmad Sudardjan
terus berjuang menyebarkan agama Islam di Karanganyar, meneruskan perjuangan
mertuanya (Merto Ngulomo). Warga Karanganyar pada saat itu masih banyak yang
belum mengenal Islam, agama yang dianutnya rata-rata anismisme dan dinamisme
atau bisa dikatakan kejawen banget.
Simbah Ahmad Sudardjan dengan segala kemampuan dan kadigdayanya tidak pernah
pantang menyerah untuk terus memperjuangkan agama Islam di Karanganyar, walau
disisi lain banyak warga yang mencemooh, menghina, mengejek dan menghasutnya. Awak gede duwur keker bersarung, berikat
kepala adalah ciri khas dari Ahmad Sudardjan, ia berkarisma atau sangat
berwibawa.
Dengan
perjuangan yang amat berat ia terus dan terus berjuang mensiarkan Islam serta
mengislamkan warganya, bahkan ia sampai mengajak warganya untuk beribadah
Jum’atan di Masjid Agung Selo, salah satunya adalah Hasan Rusdi yang kelak
menjadi menantunya sendiri menikah dengan putrinya bernama Sainem. Ketika
sebagian warga sudah mulai mengikuti ajakan dan ajaran Islam, Ahmad Sudardjan
mendirikan Surau/Musola/langgar atau Padepokan untuk belajar agama Islam, dan Surau
itu terbuat dari Preng (Bambu) peting, Greng. Santrinya adalah anak-anaknya
sendiri, Hasan Rusdi dan warga-warga yang sudah mau masuk Islam. Untuk
menciptakan generasi yang handal, Ahmad Sudardjan memondokkan anaknya bernama
Ahmad Sirojan ke Pondok Pesantren Serut.
Masa sepuhnya
Simbah Ahmad Sudardjan, waktu waktunya dihabiskan untuk terus berjuang
mensiarkan Islam, hingga meletusnya G30 SPKI perjuangan Ahmad Sudardjan dalam
memperjuangkan dan syiar Islam tercium oleh PKI, kemudian anggota PKI ingin menciduknya,
sebelumnya PKI bertemu dengan Mbah Sardi (Demendo) untuk ditannya informasi
mengenai Ahmad Sudardjan, tentang alamat
rumahnya atau tempat tinggalnya. PKI mengajak Mbah Sardi untuk menunjukkan
rumah Ahmad Sudarjan, Mbah Sardipun
mengajaknya, tapi dengan kebesaran Allah Mbah Sardi bersama PKI berjalan tanpa
disadari sudah sampai Sanggrak Ngrandu dekat desa Jambangan. Allahu akbar. Akhirnya PKI gagal
menciduk Ahmad Sudardjan dan sampai akhir hayatnya (tanggal 13 Besar) Islam
masih berkobar dihatinya. Ia meninggal pada hari Rabu Wage, 3 Agustus 1955 (13
Besar 1886 Tahun JE, 14 Zulhijah 1374 H) dikebumikan di Pemakaman Umum
Karanganyar. Kemudian disetiap tanggal
13 besar diadakan Haul Simbah Kyai Ahmad Sudarjan, dimana pertama kali dihauli
atas inisiatif Bapak Mawardi Selo Tawangharjo dan dibantu oleh K.H. Chomaidi
Tawang Jambon Pulokulon.
[1] Wawancara dengan Simbah Suaib (Mbah Maryatun / Mbah Tun) bin Hasan
Rusdi, Mbah Tun merupakan salah satu Keturunan dari Simbah Kyai Ahmad Sudardjan
sekaligus santrinya ketika Ngaji di Masjid, sosok yang mempunyai 7 (Tujuh)
bersaudara ini yakni Mbah Suwardi, Sarmadi, Sunardi, Muhammad (Dalon), Suaib,
Rasmun dan Murodi, sangat tekun dan aktif belajar Agama sampai sekarang, bahkan
waktu senggangnya banyak digunakan untuk deres Al Qur’an, kitab-kitab kuning
terutama kitab bidayah, Sulam safinah dan taufik, dan kitab-kitab yang pernah
ditulis oleh Simbah Kyai Ahmad Sudardjan Tempo dulu.
Ia
adalah sosok yang sangat cerdas, ketika ia deres Qur’an tanpa makna, ia bisa
memberi makno gandul tanpa membaca, hafalan dan ingatannya sangat luar biasa
yang unik adalah cara membaca (lagu /logat) tiada orang yang bisa menirukannya
karena sangat khas dan salaf tulen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar