Senin, 27 Mei 2019

LEGENDA GUNUNG CONDRO




Jalan menuju puncak sigit

Pada zaman dahulu, para wali ingin mensyiarkan agama Islam ditanah Jawa dengan mengutamakan musyawarah untuk mencari permufakatan yang maslahat bagi umat. Kemudian pimpinan Wali Jawa putra Tumenggung Wilatikta bernama Raden Sahid (dalam beberapa literatur, dieja sebagai Raden Said), atau sering disebut dengan Sunan Kalijaga mengundang para wali tersebut untuk mengadakan musyawarah yang diadakan di Gua Wong (manusia) lereng gunung Condro sebelah utara samping gua ulo (ular) dan gua macan.
Kemudian tibalah saatnya musyawarah tersebut, yang langsung dipimpin oleh Sunan Kalijaga atas kesepakatan para wali, dan Sunan Kalijaga menyampaikan maksud mengumpulkan para wali tersebut yaitu untuk mensyiarkan Agama Allah di tanah Jawa beserta strategi atau metode dakwahnya. Dengan mengutamakan akhlakul karimah penuh kesantunan dan ketawadhuan para wali menyampaikan gagasan-gagasan cemerlangnya tanpa mementingkan kepentingan pribadi dan tendensi apapun kecuali hanya mengharap ridho Gusti Pengeran Semata. Sebagai gongnya (penutup) musyawarah tersebut adalah ide arif, cerdas, cemerlang dari Syayid Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) berikut do’a pamungkasnya.
Setelah melalui musyawarah yang alot, tapi santun disepakatilah bahwa dalam rangka untuk mensyiarkan agama Allah, untuk mendirikan Masjid yang berada di Puncak Sigit Gunung Condro Dusun Senggot, dan strategi dakwahnya berupa akulturasi Jawa yaitu sebuah metode syiar Islam dengan menyatukan, meleburkan antara adat Jawa dengan syariat Islam.  Metode tersebut diyakini masyarakat Jawa akan merasa dihargai tanpa disakiti, adat budaya masih ada tanpa binasa, masyarakat tetap bersatu tanpa adanya bersetru, dalam bahasa lain "Arab digarab Jowo digowo".
Konon masjid tersebut akan didirakan pada tanggal 10 Syura (Muharam) dan akan selesai dalam waktu sehari semalam sebelum ada suara ayam Jago berkokok atau bertengger dan suara kotean Lesung berbunyi.
Pada malam 10 Syura para wali dan santri bermunajad, bertirakat, lek-lekan di atas Puncak Sigit Gunung Condro sambil mempersiapkan tetek-bengek, ugo rampe, piranti untuk pendirian Masjid. Salah satu soko atau tiyang masjid tersebut diambil dari Blambangan Banyuwangi hingga sampai sekarang dikenal dengan Jati papak. Sebagai tanda akan didirikan masjid tersebut, di atas puncak Sigit Gunung Condro didirikanlah tiyang tinggi dikibarkan bendera para wali Jawa, juga di sekeliling lereng puncak sigit. Hingga sampai sekarang ketika pada malam 10 syura masih dipercaya bendera itu masih berkibar, dan bisa dilihat bagi mereka yang punya hati bersih juga mendapatkan ridho dari Gusti Kang Akaryo Jagat.
Pagi harinya para wali dan santri sudah berkumpul dan siap mendirikan masjid tersebut yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Satu persatu puton (bantalan tiyang berupa kayu) dan umpak (bantalan tiyang berupa batu) dipersiapkan pada tempatnya, dan tidak ketinggalan tiyang-tiyang yang akan didirikan tertata rapi. Setelah semua disiapkan, dikumandangkan suara azan dari santri sebagai tanda masjid siap didirikan. Lantunan do’a, zikir, dari para wali mendirikan tiyang-tiyang atau soko masjid tersebut hingga menjelang waktu zuhur. Setelah manjing sembayang zuhur, semua wali dan santri beristirahat dan menunaikan sembahyang wajib.
 Sunan Kalijaga memerintahkan santrinya untuk mecari air untuk diminum dan untuk berwudhu dengan menggunakan keranjang. Santri tersebut berjalan terus ke timur menyusuri hutan rimba, sambil merenung dan berfikir bagaimana serta dimana harus mencari air dengan hanya berbekal keranjang. Akhirnya sampailah pada suatu tempat dimana dulu sunan kalijaga pernah menancapkan teken (tongkat) dari bambu. Dicabutlah tongkat tersebut yang akhirnya mengluarkan mata air yang bersih, bening, berkilauan tampak bersinar atau bercahaya. Santri tersebut kemudian mencelupkan keranjang yang dibawanya, dan diangkat keranjang tersebut keluar dari sendang, dalam beberapa langkah air tersebut habis tak tersisa. Hal ini dilakukan santri tersebut sampai beberapa kali hingga ia kelelahan dan linglung jatuh didekat sendang tersebut, kemudian tenggelam dan mati. Jasatnya kemambang (terapung) laksana gabus. Karena matinya tenggelam dan jasadnya terapung seperti gabus, santri tersebut dinamakan mbah gabus. Karena sumber mata air tersebut berkilau bercahaya oleh sunan kalijaga dinamakan Sendang Cahaya (Sendang Coyo), dan karena santri tersebut sudah teko atau tiba di tempat dimana Sunan Kalijaga menancapkan tekennya kini desa tersebut dinamakan desa Tuko (Teko).
Setelah ditunggu beberapa lama santri yang mencari air tersebut tak sampai dipuncak sigit gunung condro, waktu zuhur hampir habis dan akhirnya para wali dan santri bertayamum untuk menjalangkan sembahyang. Setelah selesai disusulah santri tersebut oleh sunan kalijaga menusuri hutan rimba kearah timur, dalam perjalanannya sunan kalijaga teringat pernah memerintahkan salah satu santrinya untuk menjaga teken pring (bambu) yang ditancapkannya. Sesampai disitu, santri masih setia menjaganya hingga teken tersebut tumbuh lebat rimbun hingga penjaganya terlilit bambu tersebut seakan tak tampak terlihat karena lebat dan menjadi hutan bambu, dan hutan bambu tersebut dinamakan pring ori dibal.
Berkaca dari situ, Sunan Kalijaga kemudian membuat garis menggunakan pring sebagai batas hutan bambu (pring ori dibal)  sambil berkata: “Hai anak turunku, ojo pisan-pisan gae omah ning sak wetane batas iki” mundak ora elok.
Batas garis yang dibuat oleh Sunan Kalijaga tersebut kemudian sebelah baratnya dinamakan dusun wates. Bekas garisnya sekarang menjadi kalen atau kali. Sampai sekarang tak ada satupun warga yang berani mendirikan rumah disebelah batas garis yang dibuat Sunan Kalijaga tersebut bahkan tak berani menggunakan bambu yang ada dihutan itu. Jika terpaksa menggunakan harus dikembalikan, dan apabila tak dikembalikan akan mendapatkan marabahaya atau celaka bahkan pada kematian. Sebagai pengganti atau bahkan jelmaan santri penjaga hutan bambu tersebut adalah kera putih dan didalamnya dipercaya juga ada kerajaan kera putih tersebut. Dan jika ada orang yang berani masuk di dalam hutan bambu itu maka dijamin dan dipercaya tidak akan bisa keluar. Konon akan dibawa oleh prajurit pada kerajaan kera putih itu.
Sunan Kalijaga melanjutkan pencarian santri yang diperintah untuk mencari air untuk berwudhu dan untuk diminum para wali dan santri yang mendirikan masjid. Di tengah penyusurannya, Sunan Kalijaga akhirnya menemukan santrinya tersebut yang sudah mati terapung di tengah sendang tersebut, setelah diurusi semua. Kembalilah Sunan Kalijaga kepuncak Sigit Gunung Condro dengan membawa air dalam keranjang dan menceritakan, menjelaskan semua pada para wali dan santri.
Dilanjutkanlah pendirian masjid hingga pada larut malam, termasuk perlengkapan masjid yaitu berupa kentongan dan bedug yang terbuat dari kayu opo-opo. tak hentinya para wali dan santri meneruskan pekerjaanya, tanpa disangka dan diduga suara ayam jago telah berkokok dan bertengger serta suara kotekan bersahutan pertanda telah masuk fajar manjing sembahyang subuh. Para wali teringatkan saat bermusyawarah, jika masjid didirikan sampai terdengar suara ayam berkokok dan suara kotean bersahutan maka pendirian masjid harus dihentikan, dan itu sebagai pertanda bahwa sang hyang gusti pangeran tidak mengizinkan. Maka oleh para wali telah bermufakat masjid harus dipindahkan, sebelum manjing subuh, dan sesuai dengan kesepakatan semua barang dipindahkan ke Bintoro Demak. Karena waktu sudah manjing subuh, bedug yang dibawa telah jatuh ditengah sawah, kini sawah itu dinamakan sawah Tiban berada di dusun ngleco desa selo ±0.5 Km sebelah barat Masjid Ki Ageng Sela, dan Bedug itu sekarang digunakan sebagai pertanda manjing sembahyang di Masjid Ki Ageng Sela.

Penulis: Arip Rohman
Penampakan Puncak Sigit Gunung Condro Sekarang

Bedug Masjid Selo Tawangharjo_Grobogan