Selasa, 29 November 2016

Sejarah kehidupan Simbah Kyai Ahmad Sirodjan



Nama Lengkap
: Ahmad Sirodjan[1]
Wangsa
: Paska Kemerdekaan Indonesia
Ayah
: Ahmad Sudarjan bin Ngosuto
Ibu
: Siyami binti Merto Ngulomo
Istri
: Siti Maryatun binti Haskandar
Lahir
: Grobogan
Agama
: Islam

Ahmad Sirodjan atau Kyai Ahmad Sirodjan adalah tokoh spiritual di desa Karanganyar sekaligus putra ke 3 (tiga) dari Kyai Ahmad Sudardjan dari (6) enam bersaudara dan yang laki-laki sendiri. Ia merupakan penerus perjuangan syiar Islam di desa Karanganyar setelah bapaknya sendiri, yaitu Ahmad Sudardjan. Pria yang tinggi besar dan mempunyai warna kulit coklat kehitaman ini mempunyai 3 (Keturunan), yaitu : Siti Fatimah, Mat Sholeh dan Abdullah (alm : Selasa, 29 November 2016 di Jepara).

1.      Boyong Pondoks
Ahmad Sirodjan atau lebih sering dikenal Mbah Ahmad Nyantri/Mondok untuk belajar agama Islam di desa Serut (Sragen bagian Timur Lereng Gunung Lawu), sementara ini penulis belum bisa mendeteksi atau menjelajah lebih jauh dimana desa Serut berada. Banyak kitab-kitab yang dipelajari oleh Ahmad Sirodjan semasa di Pondok Pesantrennya selain Kitab Suci Al Qur’an juga mendalami kitab Bidayatul Hidayah, Taqrib, Sulam Taufik & Sulam Safinah dan ilmu- fiqih yang lain.
Semasa mondok banyak halang dan rintangan yang ia hadapi, pernah seketika ia dibegal ditengah hutan semasa akan pergi ke pesantren, ia dipegang dikepung oleh beberapa begal tetapi dengan ilmu kanuragannya ia malah bisa nyeret (narik) sibegal tersebut, bahkan begal tersebut dilempar ke tengah rawa-rawa.
Cerita yang lain, ketika ia pulang dari pondoknya ia naik Dokar dalam perjalananya naik Dokar tersebut ia dirampok dan ingin dibunuh, setelah sampai tujuan ia turun, kemudian ia menurunkan barang bawaanya sambil berkata pada perampok : “Ge nak ape bok pateni nak wani”. Akhirnya perampok tersebut lari tungang terbirit-birit[1].
Setelah beberapa tahun mendalami ilmu agama, Ahmad Sirodjan boyong dari pesantrennya dan yang dibawa adalah Kayu Ireng dan Kitab-kitab kuningnya. Setelah boyong dari pondoknya, kemudian ia membalaqkan kitab-kitab yang ia dalami semasa ia nyantri. Santri-santri Ahmad Sirodjan sudah berusia tua, salah satu santri pertamanya adalah Mbah Sali Sarpan, Mbah Min Geneng dan lain-lain. Membalaqkan kitab-kitabnya berada di surau/langgar yang dibuat oleh Ahmad Sudardjan bapaknya yang masih terbuat dari preng (bambu). Sehabis Dzuhur Mbalaqke Taqrib, sehabis Asar Bidayatul Hidayah, Maqrib Sulam Safinah.
2.      Mendirikan Masjid
 
Tahun terus berganti, perjuangan syiar Islam terus di istiqomahkan dengan semangat yang luar biasa seiring perluasan dan penduduk semakin bertambah, kesadaran dan hidayah Allah telah diturunkan kepada hamba-hambanya hingga satu persatu mengikuti syariat Islam, walaupun tidak sebanding dengan jumlah penduduknya. Akhirnya dengan melihat kenyataan seperti itu Bapak Satimin Tawang Jambon Pulokulon semangat untuk ajak-ajak mendirikan Masjid.
Hasutan, hinaan, cercaan, fitnah mulai bermunculan masyarakat yang tidak suka akan kebesaran Islam dengan akan adanya pendirian Masjid, bahkan mereka-mereka akan membakar semua kayu-kayu yang akan digunakan untuk mendirikan Masjid. Ketekatan dan keteguhan Ahmad Sirodjan atas restu Mbah Kyai Ahmad Sudardjan dan Pamong Projo semasa itu (Demang Haskandar) akhirnya Masjid tetap akan didirikan, terlepas dengan ada Unen : Gawe Masjid iku kudhu sabet kathok. Mbah Supar bin Sandi Gadingan delok (melihat), kemudian ia urun / berkontribusi Dudur (empat). Soko 4 (empat) atau Tiyang Utama berasal dari alas Ngreco dan yang lain dari Kradenan (Ngrangan). Salah satu kewibawaan Ahmad Sirodjan adalah ketika mengutus masyarakatnya untuk mengambil kayu adalah mereka langsung berangkat dan sebesar apapun kayunya merekapun tanpa merasa berat. Mbah Sarmadi bin Hasan Rusdi adalah salah satu yang ikut menggraji kayu Masjid dengan gaya rambut dan jenggot dengan cara dikucir, dan justru dengan itulah menjadi guyonan mandor,  ketika mau menangkap justru tidak jadi karena gaya dan kewibawaannya. Mbah Sukiman bin Joyo Sentiko adalah tukangnya, sarapan cukup sapah godog (Singkong Rebus). Ahmad Sirodjan ketika membuat Masjid menjual Kerbaunya untuk ngopeni atau kasih makan yang bekerja di Masjid, juga sebagian zakat fitrah disisihkan untuk ingon yang garap Masjid. Akhirnya sekitar tahun 1946-1947 Masjid didirikan, tidak langsung jadi pada saat itu pula, Usuk masjid belum terpasang semua, Simbah Kyai Ahmad Sudardjan sudah menidurinya, selain untuk mentirakati juga merasa perihatin atas hasutan dan hinaan masyarakat yang tidak setuju atas dibangunnya Masjid Karanganyar. Hari demi hari telah berlalu, seiring berjalannya waktu Masjid telah selesai dibangun dan berdiri tegak, dan Masjid itu diberi nama Masjid Baitul Muslimin yang berarti Masjid sebagai istana atau rumahnya orang-orang Muslim. Balaq terus berjalan di dalam Masjid ini, Masjid dengan arsitek perpaduan jawa dan  Islam, yaitu ala rumah joglo bermundri panah menghadap kebarat yang berarti berkiblat ke Makkah al Mukaromah. Untuk kemaslahatan Masjid, Ahmad Sirodjan mengajak masyarakat untuk shalat lima waktu berjamaah di Masjid, Ngaji, bancaan/kenduren atau kenduri/kondangan dimasjid pula, dan Jum’atanpun tak tertinggal selaku Khotib pertama kali Mbah Hasan Rusdi, Muazin Mbah Sarmuji, Imam Simbah Kyai Ahmad Sudardjan dan Kyai Ahmad Sirodjan.


[1] Wawancara dengan Simbah Kyai Murodi bin Hasan Rusdi pada Hari Senin Kliwon Malem Selasa Legi, 24 Agustus 2015 M / 9 Apit 1436 H. Dia adalah kyai sekaligus pemangku Masjid Karanganyar yang banyak mengajarkan agama Islam di desa Karanganyar sepeninggal Kyai Ahmad Sirojan, tokoh agama yang ada di desa Karanganyar kebanyakan mereka banyak berguru, menimba ilmu dengan beliau. Kyai Murodi tutup usia pada jam 02:45 WIB, hari Rabu Wage, 7 Oktober 2015 M / 23 Besar 1436 H.




[1] Nas Ahmad Sirodjan pada hari Kamis Kliwon Ba’da Maulud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar