Nama Lengkap
|
: Ahmad Sirodjan[1]
|
Wangsa
|
: Paska Kemerdekaan
Indonesia
|
Ayah
|
: Ahmad Sudarjan bin
Ngosuto
|
Ibu
|
: Siyami binti Merto
Ngulomo
|
Istri
|
: Siti Maryatun binti
Haskandar
|
Lahir
|
: Grobogan
|
Agama
|
: Islam
|
Ahmad Sirodjan
atau Kyai Ahmad Sirodjan adalah
tokoh spiritual di desa Karanganyar sekaligus putra ke 3 (tiga) dari Kyai Ahmad
Sudardjan dari (6) enam bersaudara dan yang laki-laki sendiri. Ia merupakan
penerus perjuangan syiar Islam di desa Karanganyar setelah bapaknya sendiri,
yaitu Ahmad Sudardjan. Pria yang tinggi besar dan mempunyai warna kulit coklat kehitaman
ini mempunyai 3 (Keturunan), yaitu : Siti Fatimah, Mat Sholeh dan Abdullah (alm : Selasa, 29 November 2016 di Jepara).
1. Boyong Pondoks
Ahmad Sirodjan
atau lebih sering dikenal Mbah Ahmad Nyantri/Mondok
untuk belajar agama Islam di desa Serut (Sragen bagian Timur Lereng Gunung Lawu),
sementara ini penulis belum bisa mendeteksi atau menjelajah lebih jauh dimana
desa Serut berada. Banyak kitab-kitab yang dipelajari oleh Ahmad Sirodjan
semasa di Pondok Pesantrennya selain Kitab Suci Al Qur’an juga mendalami kitab Bidayatul Hidayah, Taqrib, Sulam Taufik
& Sulam Safinah dan ilmu- fiqih yang lain.
Semasa mondok
banyak halang dan rintangan yang ia hadapi, pernah seketika ia dibegal ditengah
hutan semasa akan pergi ke pesantren, ia dipegang dikepung oleh beberapa begal
tetapi dengan ilmu kanuragannya ia malah bisa nyeret (narik) sibegal tersebut, bahkan begal tersebut dilempar ke
tengah rawa-rawa.
Cerita yang
lain, ketika ia pulang dari pondoknya ia naik Dokar dalam perjalananya naik
Dokar tersebut ia dirampok dan ingin dibunuh, setelah sampai tujuan ia turun,
kemudian ia menurunkan barang bawaanya sambil berkata pada perampok : “Ge nak ape bok pateni nak wani”.
Akhirnya perampok tersebut lari tungang terbirit-birit[1].
Setelah beberapa
tahun mendalami ilmu agama, Ahmad Sirodjan boyong dari pesantrennya dan yang
dibawa adalah Kayu Ireng dan Kitab-kitab
kuningnya. Setelah boyong dari pondoknya, kemudian ia membalaqkan kitab-kitab yang ia dalami semasa ia nyantri. Santri-santri Ahmad Sirodjan
sudah berusia tua, salah satu santri pertamanya adalah Mbah Sali Sarpan, Mbah
Min Geneng dan lain-lain. Membalaqkan kitab-kitabnya berada di surau/langgar
yang dibuat oleh Ahmad Sudardjan bapaknya yang masih terbuat dari preng (bambu). Sehabis Dzuhur Mbalaqke Taqrib, sehabis Asar Bidayatul Hidayah, Maqrib Sulam Safinah.
2. Mendirikan Masjid
Tahun terus
berganti, perjuangan syiar Islam terus di istiqomahkan
dengan semangat yang luar biasa seiring perluasan dan penduduk semakin
bertambah, kesadaran dan hidayah Allah telah diturunkan kepada hamba-hambanya
hingga satu persatu mengikuti syariat Islam, walaupun tidak sebanding dengan
jumlah penduduknya. Akhirnya dengan melihat kenyataan seperti itu Bapak Satimin Tawang Jambon Pulokulon
semangat untuk ajak-ajak mendirikan
Masjid.
Hasutan, hinaan,
cercaan, fitnah mulai bermunculan masyarakat yang tidak suka akan kebesaran
Islam dengan akan adanya pendirian Masjid, bahkan mereka-mereka akan membakar
semua kayu-kayu yang akan digunakan untuk mendirikan Masjid. Ketekatan dan
keteguhan Ahmad Sirodjan atas restu Mbah Kyai Ahmad Sudardjan dan Pamong Projo
semasa itu (Demang Haskandar) akhirnya Masjid tetap akan didirikan, terlepas
dengan ada Unen : Gawe Masjid iku kudhu
sabet kathok. Mbah Supar bin Sandi Gadingan delok (melihat), kemudian ia urun
/ berkontribusi Dudur (empat). Soko
4 (empat) atau Tiyang Utama berasal dari alas
Ngreco dan yang lain dari Kradenan
(Ngrangan). Salah satu kewibawaan Ahmad Sirodjan
adalah ketika mengutus masyarakatnya untuk mengambil kayu adalah mereka
langsung berangkat dan sebesar apapun kayunya merekapun tanpa merasa berat. Mbah
Sarmadi bin Hasan Rusdi adalah salah satu yang ikut menggraji kayu Masjid dengan gaya rambut dan jenggot dengan cara
dikucir, dan justru dengan itulah menjadi guyonan mandor, ketika mau menangkap justru tidak jadi karena
gaya dan kewibawaannya. Mbah Sukiman bin Joyo Sentiko adalah tukangnya, sarapan
cukup sapah godog (Singkong Rebus).
Ahmad Sirodjan ketika membuat Masjid menjual Kerbaunya untuk ngopeni atau kasih makan yang bekerja di
Masjid, juga sebagian zakat fitrah disisihkan untuk ingon yang garap Masjid. Akhirnya sekitar tahun 1946-1947 Masjid
didirikan, tidak langsung jadi pada saat itu pula, Usuk masjid belum terpasang
semua, Simbah Kyai Ahmad Sudardjan sudah menidurinya, selain untuk mentirakati juga merasa perihatin atas
hasutan dan hinaan masyarakat yang tidak setuju atas dibangunnya Masjid
Karanganyar. Hari demi hari telah berlalu, seiring berjalannya waktu Masjid
telah selesai dibangun dan berdiri tegak, dan Masjid itu diberi nama Masjid Baitul Muslimin yang berarti
Masjid sebagai istana atau rumahnya orang-orang Muslim. Balaq terus berjalan di
dalam Masjid ini, Masjid dengan arsitek perpaduan jawa dan Islam, yaitu ala rumah joglo bermundri panah
menghadap kebarat yang berarti berkiblat ke Makkah al Mukaromah. Untuk kemaslahatan
Masjid, Ahmad Sirodjan mengajak masyarakat untuk shalat lima waktu berjamaah di
Masjid, Ngaji, bancaan/kenduren atau kenduri/kondangan dimasjid pula, dan
Jum’atanpun tak tertinggal selaku Khotib pertama kali Mbah Hasan Rusdi, Muazin
Mbah Sarmuji, Imam Simbah Kyai Ahmad Sudardjan dan Kyai Ahmad Sirodjan.
[1] Wawancara dengan Simbah Kyai Murodi bin Hasan Rusdi pada Hari Senin
Kliwon Malem Selasa Legi, 24 Agustus 2015 M / 9 Apit 1436 H. Dia adalah kyai
sekaligus pemangku Masjid Karanganyar yang banyak mengajarkan agama Islam di
desa Karanganyar sepeninggal Kyai Ahmad Sirojan, tokoh agama yang ada di desa
Karanganyar kebanyakan mereka banyak berguru, menimba ilmu dengan beliau. Kyai
Murodi tutup usia pada jam 02:45 WIB, hari Rabu Wage, 7 Oktober 2015 M / 23
Besar 1436 H.