Jalan menuju puncak sigit
Pada
zaman dahulu, para wali ingin mensyiarkan agama Islam ditanah Jawa dengan
mengutamakan musyawarah untuk mencari permufakatan yang maslahat bagi umat. Kemudian
pimpinan Wali Jawa putra Tumenggung Wilatikta bernama Raden Sahid (dalam beberapa literatur, dieja sebagai Raden Said), atau sering disebut dengan Sunan
Kalijaga mengundang para wali tersebut untuk mengadakan musyawarah yang
diadakan di Gua Wong (manusia) lereng gunung Condro sebelah utara samping gua
ulo (ular) dan gua macan.
Kemudian
tibalah saatnya musyawarah tersebut, yang langsung dipimpin oleh Sunan Kalijaga
atas kesepakatan para wali, dan Sunan Kalijaga menyampaikan maksud mengumpulkan
para wali tersebut yaitu untuk mensyiarkan Agama Allah di tanah Jawa beserta
strategi atau metode dakwahnya. Dengan mengutamakan akhlakul karimah penuh
kesantunan dan ketawadhuan para wali menyampaikan gagasan-gagasan cemerlangnya tanpa
mementingkan kepentingan pribadi dan tendensi apapun kecuali hanya mengharap
ridho Gusti Pengeran Semata. Sebagai gongnya (penutup) musyawarah tersebut
adalah ide arif, cerdas, cemerlang dari Syayid Maulana Malik Ibrahim (Sunan
Gresik) berikut do’a pamungkasnya.
Setelah
melalui musyawarah yang alot, tapi santun disepakatilah bahwa dalam rangka
untuk mensyiarkan agama Allah, untuk mendirikan Masjid yang berada di Puncak Sigit Gunung
Condro Dusun Senggot, dan strategi dakwahnya berupa akulturasi Jawa yaitu
sebuah metode syiar Islam dengan menyatukan, meleburkan antara adat Jawa dengan
syariat Islam. Metode tersebut diyakini masyarakat Jawa akan merasa dihargai tanpa disakiti, adat budaya masih ada tanpa binasa,
masyarakat tetap bersatu tanpa adanya bersetru, dalam bahasa lain "Arab digarab Jowo digowo".
Konon
masjid tersebut akan didirakan pada tanggal 10 Syura (Muharam) dan akan selesai
dalam waktu sehari semalam sebelum ada suara ayam Jago berkokok atau bertengger dan suara kotean Lesung berbunyi.
Pada
malam 10 Syura para wali dan santri bermunajad, bertirakat, lek-lekan di atas Puncak Sigit Gunung Condro sambil mempersiapkan tetek-bengek,
ugo rampe, piranti untuk pendirian Masjid. Salah satu soko atau tiyang masjid tersebut diambil dari Blambangan
Banyuwangi hingga sampai sekarang dikenal dengan Jati papak. Sebagai tanda akan
didirikan masjid tersebut, di atas puncak Sigit Gunung Condro didirikanlah
tiyang tinggi dikibarkan bendera para wali Jawa, juga di sekeliling lereng
puncak sigit. Hingga sampai sekarang ketika pada malam 10 syura masih dipercaya
bendera itu masih berkibar, dan bisa dilihat bagi mereka yang punya hati bersih
juga mendapatkan ridho dari Gusti Kang Akaryo Jagat.
Pagi
harinya para wali dan santri sudah berkumpul dan siap mendirikan masjid tersebut
yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Satu persatu puton (bantalan tiyang berupa kayu) dan umpak (bantalan tiyang berupa batu) dipersiapkan pada tempatnya,
dan tidak ketinggalan tiyang-tiyang yang akan didirikan tertata rapi. Setelah
semua disiapkan, dikumandangkan suara azan dari santri sebagai tanda masjid
siap didirikan. Lantunan do’a, zikir, dari para wali mendirikan tiyang-tiyang
atau soko masjid tersebut hingga menjelang waktu zuhur. Setelah manjing sembayang zuhur, semua wali dan santri beristirahat dan menunaikan
sembahyang wajib.
Sunan Kalijaga memerintahkan santrinya untuk
mecari air untuk diminum dan untuk berwudhu dengan menggunakan keranjang.
Santri tersebut berjalan terus ke timur menyusuri hutan rimba, sambil merenung
dan berfikir bagaimana serta dimana harus mencari air dengan hanya berbekal
keranjang. Akhirnya sampailah pada suatu tempat dimana dulu sunan kalijaga
pernah menancapkan teken (tongkat) dari bambu. Dicabutlah tongkat tersebut yang
akhirnya mengluarkan mata air yang bersih, bening, berkilauan tampak bersinar
atau bercahaya. Santri tersebut kemudian mencelupkan keranjang yang dibawanya,
dan diangkat keranjang tersebut keluar dari sendang, dalam beberapa langkah air
tersebut habis tak tersisa. Hal ini dilakukan santri tersebut sampai beberapa
kali hingga ia kelelahan dan linglung
jatuh didekat sendang tersebut, kemudian tenggelam dan mati. Jasatnya kemambang (terapung) laksana gabus.
Karena matinya tenggelam dan jasadnya terapung seperti gabus, santri tersebut
dinamakan mbah gabus. Karena sumber mata air tersebut berkilau bercahaya oleh
sunan kalijaga dinamakan Sendang Cahaya (Sendang Coyo), dan karena santri
tersebut sudah teko atau tiba di
tempat dimana Sunan Kalijaga menancapkan tekennya
kini desa tersebut dinamakan desa Tuko (Teko).
Setelah
ditunggu beberapa lama santri yang mencari air tersebut tak sampai dipuncak
sigit gunung condro, waktu zuhur hampir habis dan akhirnya para wali dan santri
bertayamum untuk menjalangkan sembahyang.
Setelah selesai disusulah santri tersebut oleh sunan kalijaga menusuri
hutan rimba kearah timur, dalam perjalanannya sunan kalijaga teringat pernah
memerintahkan salah satu santrinya untuk menjaga teken pring (bambu) yang ditancapkannya. Sesampai disitu, santri
masih setia menjaganya hingga teken tersebut tumbuh lebat rimbun hingga
penjaganya terlilit bambu tersebut seakan tak tampak terlihat karena lebat dan
menjadi hutan bambu, dan hutan bambu tersebut dinamakan pring ori dibal.
Berkaca
dari situ, Sunan Kalijaga kemudian membuat garis menggunakan pring sebagai batas hutan bambu (pring ori dibal) sambil berkata: “Hai anak turunku, ojo pisan-pisan gae omah ning sak wetane batas iki”
mundak ora elok.
Batas
garis yang dibuat oleh Sunan Kalijaga tersebut kemudian sebelah baratnya
dinamakan dusun wates. Bekas garisnya sekarang menjadi kalen atau kali. Sampai
sekarang tak ada satupun warga yang berani mendirikan rumah disebelah batas
garis yang dibuat Sunan Kalijaga tersebut bahkan tak berani menggunakan bambu
yang ada dihutan itu. Jika terpaksa menggunakan harus dikembalikan, dan apabila
tak dikembalikan akan mendapatkan marabahaya atau celaka bahkan pada kematian.
Sebagai pengganti atau bahkan jelmaan santri penjaga hutan bambu tersebut
adalah kera putih dan didalamnya dipercaya juga ada kerajaan kera putih
tersebut. Dan jika ada orang yang berani masuk di dalam hutan bambu itu maka
dijamin dan dipercaya tidak akan bisa keluar. Konon akan dibawa oleh prajurit
pada kerajaan kera putih itu.
Sunan
Kalijaga melanjutkan pencarian santri yang diperintah untuk mencari air untuk
berwudhu dan untuk diminum para wali dan santri yang mendirikan masjid. Di tengah
penyusurannya, Sunan Kalijaga akhirnya menemukan santrinya tersebut yang sudah
mati terapung di tengah sendang tersebut, setelah diurusi semua. Kembalilah
Sunan Kalijaga kepuncak Sigit Gunung Condro dengan membawa air dalam keranjang
dan menceritakan, menjelaskan semua pada para wali dan santri.
Dilanjutkanlah
pendirian masjid hingga pada larut malam, termasuk perlengkapan masjid yaitu
berupa kentongan dan bedug yang terbuat dari kayu opo-opo. tak hentinya para wali dan santri meneruskan pekerjaanya,
tanpa disangka dan diduga suara ayam jago telah berkokok dan bertengger serta
suara kotekan bersahutan pertanda
telah masuk fajar manjing sembahyang
subuh. Para wali teringatkan saat bermusyawarah, jika masjid didirikan sampai
terdengar suara ayam berkokok dan suara kotean
bersahutan maka pendirian masjid harus dihentikan, dan itu sebagai pertanda
bahwa sang hyang gusti pangeran tidak mengizinkan. Maka oleh para wali telah
bermufakat masjid harus dipindahkan, sebelum manjing subuh, dan sesuai dengan
kesepakatan semua barang dipindahkan ke Bintoro Demak. Karena waktu sudah
manjing subuh, bedug yang dibawa telah jatuh ditengah sawah, kini sawah itu
dinamakan sawah Tiban berada di dusun ngleco desa selo ±0.5 Km sebelah barat
Masjid Ki Ageng Sela, dan Bedug itu sekarang digunakan sebagai pertanda manjing sembahyang di Masjid Ki Ageng
Sela.
Penulis:
Arip Rohman
![]() |
Bedug Masjid Selo Tawangharjo_Grobogan |